Translate

Thursday, August 20, 2015

KISAH PAHLAWAN GEMBUL DARI DINASTI TONG

Tokoh Sie Jin Kwie telah lama menjadi legenda rakyat di Negeri Tiongkok. Kisah ini tergolong sebagai kisah roman sejarah karena latar belakang kisahnya diambil dari sejarah Dinasti Tong (618-907 Masehi). Kisah Sie Jin Kwie juga merupakan kisah yang sangat menarik selain untuk menghibur juga untuk memberikan wawasan baru kepada pembaca tentang kemashyuran Dinasti Tang dari Tiongkok yang memasuki kejayaan di tangan kaisar Lie Sie Bin.

Kisah ini dimulai ketika Sie Jin Kwie yang doyan makan (gembul) dan kuat bekerja ini mengalami kesulitan ekonomi. Namun berkat bantuan saudara angkatnya, dia bisa bertahan hidup. Sampai akhirnya dia melamar jadi tentara Kerajaan Tong yang akan berperang menghadapi Negeri Ko-le-kok. 

Ketika memasuki dunia ketentaraan, sejumlah jasanya telah dikorup oleh seorang pejabat Dinasti Tong yang bernama Thio Su Kwie. Karena ulah si pejabat ini, Sie Jin Kwie pun tidak bisa mendapatkan penghargaan dari Kaisar Lie Sie Bin, meski dia beberapa kali menyelamatkan sang kaisar. (Kisah jasa-jasa Sie Jin Kwie yang dikorup ini pernah sukses digarap oleh Riantiarno dalam pementasan Teater Koma dengan tajuk “Sie Jin Kwie Kena Tipu”).

Setelah beberapa kali ditipu oleh Thio Su Kwie, barulah Sie Jin Kwie bertemu kaisar dalam sebuah penyelamatan spektakuler. Saat itu kaisar yang sedang terkepung oleh tentara musuh pimpinan Kay Souw Bun berhasil dibebaskan. Dan sejak saat itu, Sie Jin Kwie diangkat oleh kaisar menjadi Jenderal Besar (Tay Goan Swee).

Kisah Sie Jin Kwie sendiri, di negeri asalnya dikenal melalui kisah sejarah Dinasti Tong yang berjudul “Kiu Tong Sie dan Sin Tong Sie” yang disusun Lauw Hie. Kemudian kisah ini digubah lagi oleh Auwyang Siu pada zaman Dinasti Song (960-1126). Baru terakhir, Tio Keng Jian yang hidup di zaman Dinasti Beng (1366-1644) mengubahnya menjadi “Tong Siu Kee Houw Toan atau Soat Tong Houw Toan”. Baru kemudian kisah ini diberi judul “Sie Jin Kwie Ceng Tang”. Namun yang istimewa, kisah karya Tio Keng Jian ini kemudian diedit dan didaur ulang oleh Lauw Kuan Tiong, sang penulis naskah Sam Kok hingga jadi cerita ini.

Judul buku: Sie Jin Kwie Ceng Tang
Penerbit: PT Suara Harapan Bangsa
Harga Normal: Rp 75.000 = Rp 65.000
SMS/WA: 0857-1474-1511

Wednesday, August 19, 2015

MENELUSURI KISAH PEMBENTUKAN ALIANSI NEGARA-NEGARA PERTAMA

Dalam sejarah bangsa Tiongkok, salah satu periodisasi yang paling menarik adalah masa musim semi dan musim gugur (Tong Ciu Liat Kok) yang kemudian dilanjutkan dengan kisah 5 negara berperang (Cun Ciu Ngo Pa).

Sehingga tak heran kalau banyak sekali tokoh-tokoh hebat yang muncul dalam periodisasi ini. Sebut saja tokoh Sun Tzu, Sun Pin, Bang Koan, Kut Peng alias Kut Goan, Souw Cin, Thio Gie dan masih banyak lagi. Tokoh-tokoh ini adalah ahli-ahli strategi yang hingga saat ini masih dikenang dan ilmunya banyak dipelajari sebagai siasat atau strategi perang atau bisnis.

Demikian hebatnya kisah ini, sehingga pimpinan Partai Komunis Cina ternama macam Mao Tse Tung (Mao Zedong) menyatakan bahwa bangsa Tiongkok tidak boleh melupakan kisah ini. Karena selain strategi dan siasat, dalam kisah ini juga ada banyak sekali nilai-nilai moral dan kemanusiaan yang dapat dipetik.

“Catatan-catatan yang ada dalam zaman musim semi dan musim gugur serta negara-negara berperang adalah catatan-catatan khas yang luar biasa. Sehingga sampai saat ini, kisah-kisah yang ada di dalamnya masih dicintai bahkan dipakai sebagai tradisi mereka 1). Nilai-nilai yang dikandung dalam kisah ini menjadi sebuah peradaban klasik dari Negeri Cina yang patut dipelajari terus,” kata Mao.

Tampaknya, apa yang dikatakan Mao Tse Tung ini memang tidak berlebihan. Karena toh ada banyak penulis-penulis klasik Tiongkok yang berupaya mengabadikan dua zaman ini menjadi karya yang penuh nilai. Salah satu penulis yang terkenal adalah Kong Hu Cu yang mengabadikan dan menyunting kisah ini.

Di Indonesia sendiri, Kisah Tong Ciu Liat Kok ini pernah terbit secara utuh maupun secara cungkilan. Kisah yang utuh bertajuk Tong Ciu Liat Kok, sementara kisah-kisah cungkilannya adalah Cun Ciu Ngo Pa (Lima Jago Cun Ciu), Kisah-kisah Dong Zhou, Sun Bang Yan Gie, Tong See Han, Souw Cin Thio Gie dan banyak lagi.

Kesemua kisah itu sangat dinikmati terutama oleh generasi yang hidup pada tahun 1930 hingga 1960an. Hal ini karena kisah-kisah ini dianggap sebagai kisah klasik untuk mempelajari karakter manusia.

Dari sekian banyak kisah dalam cukilan Kisah Tong Ciu Liat Kok ini, kisah Souw Cin Thio Gie ini adalah salah satu kisah yang cukup menonjol. Karena kisah ini ingin menceritakan bagaimana dua orang saudara seperguruan harus “bertempur” demi meraih cita-cita pribadinya.

Souw Cin sendiri adalah seorang diplomat yang lahir pada abad 284 SM. Sebelum menjadi seorang diplomat, dia berguru pada seorang pandai yang bernama Kwi Kok Siansu. Setelah mengalami masa-masa sulit karena tidak dipercaya oleh beberapa negara, dia akhirnya diterima oleh Negeri Tio untuk menjadi penasihat di sana.

Namun dalam perjalanannya, negeri tempatnya bekerja kerap mendapat ancaman dari Negeri Cin, salah satu negeri yang akhirnya dapat mempersatukan daratan Tiongkok. Kemudian atas dasar ancaman itu, dia mengusulkan pembentukan aliansi enam kerajaan yakni Han, Yan, Gui, Tio, Couw dan Cee. Tapi belum sempat aliansi itu terbentuk, Kerajaan Cin yang sedang gencar-gencarnya melakukan invasi militer ke beberapa negara sudah datang mengancam. Maka Souw Cin pun kemudian “memperalat” saudara seperguruannya Thio Gie atau Zhang Yi ( 309 SM) agar bekerja pada Negeri Cin. Maksudnya agar Thio Gie meredam pergerakan Negeri Cin dari dalam.

Pada awalnya strategi Souw Cin bisa berhasil, tapi kemudian Thio Gie juga yang meruntuhkan strateginya itu dengan siasat yang berlawanan.

Di satu sisi, Souw Cin begitu gigih untuk mempertahankan aliansi vertikal di mana setiap negara berusaha digabungkan dan dipimpin oleh ketua aliansi agar tercipta kedamaian di seluruh Tiongkok. Namun di sisi lain, Thio Gie terus berjuang lewat aliansi horisontal di mana Kerajaan Cin yang besar akan bekerja sama dengan kerajaan lain untuk meruntuhkan aliansi negara-negara kecil yang dibangun Souw Cin. Dua kutub teori ini akhirnya “saling bersinggungan” di lapangan yang kemudian membuat kisah ini menarik.

Meski tak berseteru secara fisik seperti dua kakak seperguruannya Sun Pin dan Bang Koan, kedua murid Kwi Kok Siansu ini tetap saja berseteru untuk memperebutkan predikat sebagai ahli strategi terbaik kala itu. Intinya antara Souw Cin dan Thio Gie tetap ada semacam “perang dingin”.

Namun ada yang menarik dalam kisah ini, bagaimana Thio Gie tetap setia membalas hutang budi yang ditanamkan Souw Cin kala dirinya sedang berusaha mencari pekerjaan. Sebagai lelaki sejati, Thio Gie tak berani menyerang Negeri Tio, tempat Souw Cin bernaung meskipun dia memiliki banyak kesempatan. Bahkan dia juga berusaha menghindarkan orang yang telah membantunya secara moril dan finansial ini, dari bahaya serangan Negeri Cin.

Anehnya, sikap santun ini berubah 180 derajat ketika dia mulai mencoba menaklukkan kerajaan-kerajaan kecil pasca Souw Cin meninggal. Sehingga dia kerap dianggap tidak “bermoral” karena beberapa kali memperdaya lawan-lawannya dengan cara yang licik. 

1) Sejarah tentang asal mula masyarakat Tionghoa mengenal Ba-cang yang merupakan penghargaan terhadap jasa Kut Goan atau Kut Peng yang menceburkan diri dalam sungai adalah tradisi dari zaman ini. Atau tradisi makan dingin di Hari Raya Imlek juga berasal dari zaman ini.

Judul buku: Souw Cin dan Thio Gie
Penerbit: PT Suara Harapan Bangsa
Harga: Rp 40.000 = Rp 30.000
SMS/WA: 0857-1474-1511

MENGENAL TRADISI DAN HARI RAYA TIONGHOA

Ada banyak sekali perayaan dan persembahyangan dalam tradisi Tiongkok lama yang dilakukan bangsa ini, baik di negeri asalnya maupun di seluruh dunia. Kalau diikuti, mungkin hampir setiap hari akan ada persembahyangan yang harus dirayakan oleh keturunan Tionghoa. Namun hanya beberapa perayaan saja yang biasa dirayakan.

Sayang, sejak zaman Orde Baru, sejumlah tradisi ini sempat terberangus karena rezim ini sengaja membatasi ruang gerak agama dan kebudayaan Tionghoa di negeri ini. Itu sebabnya, diakui atau tidak, banyak orang Tionghoa Indonesia yang hanya merayakan perayaan tersebut tanpa mengerti makna dari perayaan itu sendiri.

Buku Hari Raya Tionghoa ini akan coba menjabarkan sejarah, makna dan tujuan dari perayaan yang masih dilakukan oleh etnis Tionghoa dari dulu hingga sekarang. Buku ini juga diharapkan dapat menjadi referensi bagi para generasi muda Tionghoa, mereka yang tertarik mempelajari ataupun peneliti kebudayaan Tionghoa sendiri.

Penulisnya, Marcus AS mengambil sejumlah literatur lama dan pengalaman pribadinya, lalu merangkum dan mengolahnya menjadi sebuah buku baru yang dapat bermanfaat bagi pembacanya. 

Dalam buku ini, Marcus AS menceritakan soal penciptaan penanggalan Tionghoa, penciptaan 12 shio, Hari Raya Imlek berikut tradisi-tradisinya, Hari Raya Peh Cun, Ceng Beng, Tang Ceh dan sebagainya. Menariknya, semua itu dituturkan dalam gaya bahasa cerita layaknya sebuah novel.

Judul buku: Hari Raya Tionghoa
Penerbit: PT Suara Harapan Bangsa
Harga: Rp 75.000 = Rp 60.000

SMS/WA: 0857-1474-1511

Tuesday, August 11, 2015

WAYANG POTEHI GUDO

Wayang Potehi adalah salah satu kesenian dari daratan Tiongkok yang sudah lama dikenal di Nusantara. Pertunjukan ini biasanya dibawa oleh komunitas totok dan peranakan Tionghoa yang sudah tinggal di kawasan Jawa Tengah dan Jawa Timur selama ratusan tahun.

Wayang Potehi awalnya hanya dipertunjukan di kelenteng-kelenteng sebagai bagian dari ritual pemujaan, namun kini komunitas Tionghoa di Jawa tak hanya menjadikan wayang ini sebagai ritual pemujaan kepada para dewa dan arwah leluhur belaka, tapi juga bisa menjadi sarana bagi hiburan rakyat.

Dalam prakteknya, pertunjukan wayang ini sangat identik dengan Negeri Tiongkok, karena itu seni pertunjukan ini banyak menyajikan cerita-cerita kepahlawanan Tiongkok masa lalu seperti Sie Jin Kwie Ceng Tang, Sie Jin Kwie Ceng See, Sam Kok (San Guo Yen I) atau juga Sun Go Kong (Sun Wukong).

Tapi tak jarang juga mereka menyajikan cerita drama mengharukan semacam San Pek Eng Tay yang terkenal dari Negeri Mao Tze Dong (Mao Tse Tung) ini.

Dengan mempelajari kesenian wayang ini, sedikit banyak kita bisa belajar soal kebudayaan kaum peranakan di Tanah Jawa, walaupun belum sempurna benar.

Dari sekian banyak jenis Wayang Potehi, Wayang Potehi yang ada di kawasan Gudo, Jawa Timur selalu disebut-sebut sebagai pagelaran Wayang Potehi yang paling mendarah daging. Namun sayang, tak banyak literatur yang bisa membeberkan sejarah panjang tentang asal-muasal kesenian ini.

Karena itu, kehadiran buku ini diharapkan mampu menguraikan tentang beberapa aspek seperti riwayat peranakan Tionghoa di Indonesia, sejarah Kota Gudo, sejarah Wayang Potehi sebagai seni pertunjukan dan upaya pengembangannya. Buku ini kian menarik karena dilengkapi foto-foto berkualitas.

Judul buku: Wayang Potehi Gudo (Hardcover)
Penerbit: Sinar Harapan dan Indonesia Shangbao
Harga: Rp 250.000 = Rp 200.000 
SMS/WA: 0857-1474-1511